| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, September 07, 2006,2:00 PM

Perlukah Debat Data Kemiskinan?

Mediya Lukman
Mahasiswa Pascasarjana Yokohama National University, Jepang

Polemik tentang data kemiskinan yang disampaikan oleh pemerintah sejak bulan lalu atau lebih tepatnya setelah pidato kenegaraan presiden tanggal 16 Agustus 2006 lalu belumlah mereda. Bahkan bola panas atau 'sengaja dipanaskan' tersebut masih terus bergulir. Celakanya bentuk bola tersebut semakin mengurucut dan mengarah ke lembaga resmi statistik yakni Badan Pusat Statistik, menyusul setelah lembaga tersebut mengeluarkan data kemiskinan terbaru 2 September 2006 lalu.

Polemik ini boleh dikatakan telah memasuki ronde kedua antara pemerintah/BPS dan para pengamat ekonomi di luar lingkungan pemerintah. Ronde pertama berawal setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato kenegaraannya menyebutkan telah terjadi pengurangan tingkat kemiskinan penduduk Indonesia dari 23,4 persen pada 1999 menjadi 16 persen pada 2005. Pidato ini langsung disambut dan dikrtitik pedas oleh ekonom dari luar institusi pemerintah. Tim Indonesia Bangkit (TIB) dan institusi lain menyebutkan bahwa data yang dikemukakan presiden merupakan data tahun 2005 sebelum kenaikan BBM, padahal kenaikan BBM tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Bahkan TIB juga mencatat angka kemiskinan naik dari 16 persen per Februari 2005 menjadi 18,7 persen per Juli 2005 dan 22 persen per Maret 2006.

Sebagai respons dari kritik beberapa ekonom tersebut, pemerintah menyadari bahwa data kemiskinan yang diumumkan bukanlah data terbaru berdasarkan hasil Susenas tahun 2005. Pemerintah beralasan data kemiskinan terbaru sedang dalam penyusunan dan baru akan diumumkan oleh BPS pada awal September sedangkan pidato kenegaraan berlangsung pada pertengahan Agustus. Nah, apakah polemik data kemiskinan itu telah berakhir? Ternyata belum, dan bahkan boleh dikatakan telah memasuki ronde kedua setelah BPS mengumumkan data kemiskinan terbaru pada 2 September 2006 lalu.

BPS mencatat jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) per Maret 2006 mencapai 39,05 juta orang (atau 17,75 persen dari total penduduk 222 juta jiwa). Dengan kata lain, penduduk miskin Indonesia naik 3,95 juta orang dari Februari 2005 yang hanya 35,10 juta orang (15,97 persen). (Republika, 2 September 2005)).

Pengumuman data kemiskinan terbaru tersebut, lagi-lagi mendapat kecaman tajam dari beberapa ekonom terutama ekonom yang tergabung dalam TIB yang meragukan data BPS tersebut (Republika 3 September 2005). Ekonom TIB menilai BPS telah ceroboh dalam menghitung orang miskin. TIB juga memaparkan ada beberapa faktor yang mencurigakan dari angka kemiskinan versi BPS. Jelasnya, batas kemiskinan 2006 seharusnya Rp 159 ribu, atau 45,9 juta orang (bukan 39,05 juta jiwa sebagaimana data versi BPS), atau 20,6 persen.

Dari kenyataan tersebut, kita bisa melihat dengan jelas benang merah sumber polemik di antara kedua kubu yaitu perbedaan data kemiskinan versi pemerintah/BPS dan data versi ekonom non pemerintah, yang kian hari semakin memanas. Hal ini penting kita paparkan untuk memberikan perspektif yang jelas kepada publik terutama bagi mereka yang bukan ekonom atau ahli statistik.

Perbedaan data
Sebenarnya kalau kita lebih arif dan bijak, data apapun termasuk data tentang kemiskinan adalah lumrah dan wajar berbeda dan berpeluang untuk diperdebatkan. Hal tersebut tergantung pada metode, sampel, dan waktu pelaksanaan. Perbedaan sampel dan variabel saja sangat berpengaruh terhadap output data dan kesimpulan yang diperoleh. Seharusnya kita tidak terjebak dan mengkritiknya secara berlebihan dan berlarut-larut tanpa ada kata akhir. Untuk itu penulis sebutkan beberapa perbedaan angka kemiskinan penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga atau institusi selain BPS.

Sejak dulu konsep dan pengukuran kemiskinan memang mengandung kontroversi dari berbagai ahli dan berbagai disiplin ilmu. Sebagai contoh, untuk menentukan garis kemiskinan saja terjadi perbedaan yang mencolok yang dilakukan para ahli. Bank dunia mengkategorikan si miskin atau seseorang dianggap miskin kalau pendapatannya di bawah 1,05 dolar AS per hari atau di bawah 2,15 dolar AS per hari. Sedangkan BPS menggunakan atau mendefinisikan garis kemiskinan dengan standar minimum atas makanan layak yang dibutuhkan oleh individu. Kelayakan tersebut biasanya dihitung atas dasar nilai rupiah dari 2100 kalori. Sederhananya untuk bulan Maret 2006, sebagai contoh, orang yang disebut miskin adalah orang yang hanya memiliki pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 152.847.

Akibat perbedaan dalam menentukan garis kemiskinan termasuk sumber data dan jumlah sampel itu, membawa konsekuensi perbedaan data tentang persentase kemiskinan. Untuk data tahun 2002 yang dipublikasikan oleh Bank Dunia menyebutkan persentase penduduk miskin Indonesia di bawah 1,05 dolar AS per hari adalah 7,5 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan penduduk miskin dengan pendapatan di bawah 2,15 dolar AS per hari sekitar 52,4 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu BPS dari Susenas 2002 menyebutkan persentase penduduk miskin Indonesia adalah sekitar 18,5 persen dari jumlah penduduk.

Contoh lain pada tahun 1998, setelah krisis ekonomi. BPS mengumumkan tingkat kemiskinan Indonesia perkotaan dan pedesaan adalah 23,81 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan ILO mengestimasinya sekitar 48,3 persen, sementara itu Bank Dunia mencatat hanya 14,4 persen dari jumlah penduduk.

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa perbedaan angka adalah suatu keniscayaan yang harus terjadi karena perbedaan metode, sampel dan waktu pelaksanaan. Oleh karena itu diperlukan sekali kearifan dalam menyikapinya. Yang paling penting adalah menetapkan suatu standar yang bisa diterima oleh berbagai pihak mengenai metode, sampel, dan waktu pelaksanaan sensus atau survei kemiskinan tersebut. Tanpa kelegaan dan kedewasaan berpikir, kita hanya akan terperangkap dalam perdebatan tanpa akhir.

Data yang dipublikasikan Bank Dunia bukannya tidak menuai kritik dari berbagai kalangan. Beberapa ahli terutama ahli ekonomi dan statistik juga mengkritik data tersebut. Namun demikian, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, data dari Bank Dunia tetap dipakai oleh mayoritas cendekiawan dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk juga hal ini data yang dipublikasikan oleh institusi resmi statistik lain seperti BPS.

Sebagai tambahan, persoalan kemiskinan adalah masalah kompleks atau multidimensi dan perlu rentang waktu yang lama untuk mengeliminasinya. Pantaslah, Adam Jr (2004), staf Bank Dunia, dalam jurnalnya yang berjudul Economic Growth, Inequality and Poverty, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang mantap dan berkesinambungan serta dalam rentang waktu yang cukup lama berpengaruh positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan.

Jadi kesimpulannya adalah si miskin tidak perlu perdebatan data tanpa ujung pangkal dan tanpa penyelesaian. Mereka memerlukan perhatian yang besar dari pengambil kebijakan tanpa menyalahkan dan meributkan segala sesuatu secara berlebihan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home