| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 16, 2006,12:21 PM

Toleransi Versus Intoleransi

Zuhairi Misrawi

Bila muncul pertanyaan, mana lebih mudah, menjadi toleran atau intoleran, maka sementara ini harus diakui, menjadi intoleran lebih mudah daripada menjadi toleran.

Faktanya, tindakan intoleran seperti kekerasan, intimidasi, penyerangan sebuah kelompok terhadap kelompok lain, bahkan terorisme telah menjadi laku dari sebagian kelompok atau ormas.

Karena itu, fakta intoleransi telah menyita perhatian banyak pihak untuk melihatnya sebagai problem yang harus diselesaikan selekas mungkin. Tidak terelakkan, dari Presiden hingga masyarakat biasa umumnya resah dan gelisah atas meluasnya aksi- aksi intoleran.

Pemerintah berkali-kali menyampaikan keseriusannya untuk menindak ormas yang menggunakan dan menyebarkan kekerasan. Tidak sedikit dari elemen masyarakat meminta agar pemerintah mengambil sikap, baik membekukan maupun membubarkan ormas yang menggunakan kekerasan. Polemik tidak terhindari seputar perlunya merevisi Undang-Undang Ormas termasuk dalam memperjelas larangan penggunaan kekerasan dalam kegiatannya.

Transformasi

Fakta bahwa sebagian ormas menjadikan kekerasan sebagai bagian aktivitasnya, membuka kesadaran kolektif perihal pentingnya mengubah fakta intoleransi menjadi fakta toleransi.

Transformasi dari intoleransi menjadi toleransi merupakan salah satu ukuran maksimal keadaban dan peradaban sebuah bangsa. Semakin toleran sebuah bangsa, tingkat keadaban publik dan peradabannya akan maksimal. Karena itu, toleransi merupakan nilai dan sikap yang harus ditumbuhkembangkan dalam dan bagi seluruh warga, khususnya ormas sebagai bagian dari masyarakat sipil yang sejatinya dapat memedomani keadaban publik, bukan kekerasan atas publik.

Michael Walzer (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexsistance) di antara pelbagai kelompok masyarakat dari pelbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas.

Toleransi, menurut Walzer, harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, dan mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman ciptaan Tuhan. Yang terakhir kemudian populer dengan istilah multikulturalisme.

Dalam sejarahnya, jalan menuju toleransi bukanlah jalan tol yang mulus. Jalan menuju toleransi adalah jalan kontestasi untuk mengatasi intoleransi itu sendiri. Karena, kehendak kuat membangun toleransi umumnya dimulai sejak munculnya kesadaran tentang dampak-dampak negatif dari tindakan intoleran.

Di antara abad ke-16 dan ke-17, pembunuhan dan pembantaian meluas di pelbagai negara. Ribuan korban berjatuhan. Kenyataan itu telah menggugah kekuasaan Persia, Mesir, dan Roma saat itu untuk membuat kebijakan yang khusus memberi perhatian atas koeksistensi terhadap yang lain dalam rangka membangun damai. Saat itu, kekuasaan absolut memainkan peran yang amat penting dalam rangka meredam potensi-potensi konfliktual. Meski kita tidak sepakat dengan kekuasaan absolut, rezim itu terbukti mampu meredam merebaknya tindakan intoleran. Pemandangan seperti ini hampir sama dengan rezim Orde Baru yang dengan kekuasaan absolutnya relatif mampu membendung tindakan intoleran. Pada masa Orde Baru, hampir tidak ditemui aksi hakim sendiri atas nama agama atau etnis karena kebinekaan dan kebangsaan menjadi acuan utama dalam membangun toleransi dan meredam intoleransi.

Paradigma negara-bangsa

Dengan pelbagai keistimewaan model itu, model yang lebih baik dalam membangun toleransi adalah negara-bangsa (nation-state). Dalam negara-bangsa, kehendak untuk bertoleransi berangkat dari pijakan, seluruh manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan konstitusi.

Ada paradigma kewarganegaraan yang memperlakukan seluruh warga negara secara adil dan setara. Karena itu, toleransi pada model negara-bangsa menyentuh ruang individu. Pada model pertama, toleransi menyentuh kelompok, tetapi toleransi dalam model negara-bangsa melindungi hak individu.

Di sinilah, dalam rangka mengatasi munculnya anarkisme dan aksi intoleran, sejatinya paradigma yang digunakan adalah paradigma negara-bangsa. Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan ideal berbangsa dan bernegara harus mampu melindungi ruang individu dan ruang publik.

Selama ini, kerancuan dalam mengatasi tindakan intoleran sering kali dihambat oleh ketakutan pada klaim mayoritas dan kalkulasi politik. Bila yang melaksanakan kekerasan adalah kelompok yang membawa simbol-simbol mayoritas, biasanya tidak ditindak secara serius dan tegas. Sikap banci terhadap tindakan intoleran itu muncul karena ditempeli kepentingan politik.

Fakta seperti ini sama sekali tidak memberi pembelajaran demokrasi. Karena, aparatur negara yang semestinya menegakkan hukum ditengarai masih menggunakan standar ganda dalam mengambil tindakan hukum.

Kepentingan politik sering menjadi hambatan serius. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 pun sering dilanggar oleh mereka yang mendapat amanat dari rakyat karena dilatarbelakangi kepentingan politik. Akibatnya, kepentingan kelompok merampas hak individu warga negara untuk hidup aman, damai, dan tenang.

Karena itu, diperlukan pemikiran baru tentang toleransi. Hidup toleran harus diterapkan pada individu dan kelompok sesuai amanat konstitusi. Bila ada warga negara yang melapor adanya intimidasi dan teror akibat perbedaan pandangan, pemerintah semestinya melindungi hak warga negara itu, apa pun latar belakang kelompok dan kelasnya.

Bila pemerintah tidak melakukannya, dikhawatirkan akan muncul reaksi balik dari kalangan moderat dan toleran untuk mengambil alih peran yang tidak dilakoni pemerintah. Artinya, akan muncul benturan di antara kelompok masyarakat.

Bila itu yang terjadi, bangsa ini seperti anak ayam kehilangan induk. Pepatah Arab berbunyi, Antara ada dan tidak ada sama saja (al-wujûd ka al-‘adam). Karena itu, pernyataan dan janji pemerintah untuk menindak tegas ormas yang mengusung dan melakukan anarkisme harus dibuktikan sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. Siapa, kapan, dan bagaimana tindakan intoleran itu dilaksanakan, sebenarnya seluruh penghuni republik ini tahu.

Kita tunggu keberanian dan tindakan tegas pemerintah.

Zuhairi Misrawi Intelektual Muda NU, Salah Satu Penggagas Lingkar Muda Indonesia

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

saya sangat mendukung sekali terhadap pernyataan mas zuhairi tapi yang sangat saya pikirkan bagaimana pembangunan dunia toleransi bukan hanya dalam tataran wacana belaka. tapi sudah bisa dipraktekkan oleh banyak orang karena kondisi saat ini sudah sangat mendesak hadirnya manusia yang toleran

10:51 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home