| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, May 24, 2006,10:07 AM

Peradilan Tetap Saja Korup

Susana Rita

Delapan tahun berlalu, reformasi belum membawa perubahan signifikan di bidang peradilan. Peradilan masih korup, mafia peradilan merajalela. Perubahan yang terjadi masih di atas kertas. Pengawas eksternal yang diharap mampu menghadirkan checks and balances pun ibarat senapan tanpa peluru.

Masih tercetak jelas dalam ingatan, rentetan penangkapan aparat pengadilan pada tahun 2005 dan awal 2006.

Diawali dengan tertangkap basahnya panitera Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Ramadhan Rizal dan M Soleh, disusul tertangkapnya lima pegawai Mahkamah Agung (MA) yang melakukan transaksi suap di parkiran MA, dan penangkapan panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Djemi Lumanauw yang diduga memeras saksi. Djemi diciduk, demikian pula hakim yang menangani kasus itu, Herman Allositandi.

Media massa memberitakan kasus tersebut besar-besar. Kritik dilontarkan, namun kejadian demi kejadian yang menguatkan dugaan terjadinya jual beli perkara justru kian mengemuka. Bahkan, dalam kasus Pono Waluyo cs, nama Ketua MA Bagir Manan dan dua hakim agung yang menangani perkara Probosutedjo terbawa-bawa.

Atas dugaan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah ruangan hakim agung dan Ketua MA. Kini, saat sidang suap yang melibatkan Pono dan Harini berlangsung, persoalan kembali mengemuka. Majelis hakim terpecah, sikap mereka bertentangan pada saat akan memanggil saksi Bagir Manan.

Deretan peristiwa itu, termasuk pemerasan oleh karyawan MA James Darsan Tony, menunjukkan bahwa mafia peradilan masih menjadi masalah utama dalam sistem peradilan kita. Sayangnya, persoalan itu tidak tersentuh selama reformasi bergulir delapan tahun lalu. Pemberantasan mafia peradilan masih sebatas agenda reformasi.

Direktur Indonesia Court Monitoring Denny Indrayana menyatakan, kerja besar memberantas mafia peradilan telah gagal. Butuh kemauan, keberanian, tekad, dan kerja keras untuk memberantas mafia, tetapi sayangnya hal itu tidak dimiliki.

MA sendiri enggan jika dinilai tidak melakukan apa-apa. Mereka berpendapat ada beberapa hal signifikan yang berhasil diupayakan, di antaranya mengupayakan peradilan satu atap, membuat cetak biru dan berusaha mengimplementasikannya, serta mencoba untuk mengurangi penumpukan perkara.

Dalam berbagai kesempatan, Ketua MA Bagir Manan membanggakan bahwa selama 14 bulan, terhitung dari Januari 2005 hingga Maret 2006, MA berhasil memutus sekitar 15.552 perkara. Dengan kecepatan seperti itu, Bagir memprediksikan penumpukan perkara yang selama ini menjadi problem klasik MA (13.997 perkara) habis pada akhir tahun 2007. Tahun berikutnya MA dapat berjalan normal.

Kurangi intervensi

Usai 1998, MA pun mengalami masa transisi. Manajemen pengadilan yang semula di bawah Departemen Kehakiman kini sepenuhnya dipegang oleh MA sejak tahun 2001. Sistem pengadilan satu atap dijalankan.

Penyatuan atap sebenarnya telah diperjuangkan Ikatan Hakim Indonesia sejak tahun 1970-an. Desakan itu menguat tahun 1998. Tap MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan ditindaklanjuti dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. UU itu menegaskan tentang perubahan sistem pengelolaan lembaga peradilan yang semula menggunakan dua atap menjadi satu atap.

Teknis penyatuan diatur lebih detail di UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No 4/2004 itu menetapkan jangka waktu pengalihan pengelolaan lembaga peradilan dalam jangka waktu lima tahun. Pengadilan Tata Usaha Negara harus dialihkan paling lambat 31 Maret 2004, sedangkan pengalihan Peradilan Agama dan Peradilan Militer harus selesai dilaksanakan pada 30 Juni 2004.

Namun, realisasinya terlambat. Pengadilan Agama baru diserahkan oleh Departemen Agama pada 30 Juni 2004. Pengadilan Militer baru diserahkan oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto pada 1 September 2004.

Proses penyatuan atap itu masih terkendala, terutama mengenai minimnya anggaran yang diberikan pemerintah untuk MA. Tahun 2005 MA hanya menerima anggaran Rp 1,3 triliun.

Denny melihat model pengelolaan pengadilan satu atap bermata dua. Di satu sisi, hal tersebut dapat mengurangi intervensi kekuasaan eksekutif di bidang yudikatif. Namun, di sisi lain, ia melihat hal tersebut sebagai proses penggumpalan tirani yudikatif. Selain mengurusi SDM, MA kini juga harus mengatur administrasi dan keuangan pengadilan.

Ia menyarankan kekuasaan MA tersebut perlu dibagi dengan Komisi Yudisial. Di beberapa negara, masalah administrasi dan keuangan pengadilan diatur oleh Komisi Yudisial.

Senapan tanpa peluru

Reformasi juga melahirkan lembaga pengawas eksternal untuk pemegang kekuasaan yudikatif. Lembaga tersebut juga berwenang menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat hakim. Mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Harun Kamil dalam sidang di Mahkamah Konstitusi mengatakan, perlunya pengawas eksternal adalah untuk menciptakan checks and balances di bidang peradilan. Selama ini, hakim menjadi sosok yang tidak tersentuh dan cenderung menjadi tiran.

Keberadaan mafia peradilan itu juga sangat disadari Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqqodas. Dalam suatu diskusi di Jakarta, Busyro pernah mengatakan hakim yang terlibat dalam mafia peradilan layak dihukum seberat-beratnya karena melanggar etika profesi dan mencoreng citra peradilan.

Busyro berpendapat pembongkaran harus dilakukan dari lembaga peradilan tertinggi. "Layaknya ikan, pembusukan biasanya berawal dari kepala. Maka, untuk membongkar mafia peradilan juga harus dari kepalanya," kata Busyro saat itu.

Komisi Yudisial membuat gebrakan saat menangani kasus pilkada Depok. Hakim PT Jawa Barat dinilai melakukan unprofessional conduct. Tak hanya hakim PN atau PT, mereka juga memeriksa hakim agung. Bagir pun pernah dipanggil, tetapi tidak hadir.

Komisi Yudisial pun kian rajin melahirkan rekomendasi, di antaranya rekomendasi untuk hakim PN Jakarta Selatan dan hakim PN Stabat. Namun, semuanya belum direspons oleh MA.

Salah satu anggota Komisi Yudisial, Mustofa Abdullah, mengibaratkan Komisi Yudisial seperti senapan. Namun, katanya, senapan itu sayangnya tak berisi peluru.

Komisi Yudisial pernah mencoba meminta peluru tersebut melalui pengajuan perpu. Namun, hingga kini perpu hilang tanpa kabar. Sebaliknya, justru hakim agung yang kini melancarkan serangan balik dengan mengajukan uji materi UU Komisi Yudisial. Mereka enggan diawasi Komisi Yudisial. Menurut mereka, Komisi Yudisial hanya berwenang mengawasi hakim PN dan PT.

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Munarman dan Dewan Pakar Masyarakat Pemantau Peradilan Asep Rakhmat Fadjar menilai, fenomena-fenomena tersebut menunjukkan tidak adanya kemauan dari institusi untuk melakukan pembersihan internal dan perbaikan SDM. Kalaupun ada, itu hanya riak-riak kecil yang tidak sistemik.

Sewindu setelah reformasi ternyata masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Utamanya memberantas mafia demi sebuah keadilan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home