| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 22, 2006,11:02 AM

Kemiskinan dan Kebijakan

Ivanovich Agusta

Tim Indonesia Bangkit melepas sedikit pupur data kemiskinan yang tersaji dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR, 16 Agustus 2006. Penyingkapan diarahkan pada kelalaian penggunaan data statistika kemiskinan seusai kenaikan harga BBM.

Namun, dengan menggunakan data kemiskinan 2006, sudahkah kritik itu terjawab? Lebih tegas, apakah kita sudah menemukan orang miskin dalam statistika 2006? Kalaupun jumlah penduduk miskin sudah terhitung, apakah kebijakan pemerintah mampu menanggulangi kemiskinan?

Inilah bedak tebal kemiskinan yang masih harus dilunturkan!

Statistika kemiskinan

Ada manfaatnya mencuatkan lagi historis skeptisisme serupa Tim Indonesia Bangkit pada awal krisis moneter. Banyak pihak beropini bahwa krisis moneter (kini konteksnya kenaikan harga BBM berikut rentetan efek negatif) selayaknyalah meningkatkan kemiskinan. Jika sempat terungkap pendalaman kemiskinan pada kasus-kasus keluarga miskin, seharusnya kenaikan jumlah penduduk miskin nasional juga signifikan.

Sayang Badan Pusat Statistik (BPS) justru melakukan tindakan perubahan ukuran kemiskinan, atau tepatnya menambah bobot kemiskinan, pada tahun-tahun berikutnya. Sebelum krisis moneter (tahun 1996) metode lama hanya menghasilkan 22,5 juta jiwa penduduk miskin atau 11,34 persen. Dibandingkan dengan masa krisis sejumlah 49,5 juta penduduk miskin atau 24,2 persen (tahun 1998, dengan metode baru), selisih antarmasa menunjukkan peningkatan penduduk miskin secara "mengagumkan": 27 juta jiwa atau 12,86 persen.

Padahal, kalau bersedia menghitung ulang secara konsisten (menelurkan angka 34,5 juta jiwa penduduk miskin atau 17,7 persen pada tahun 1996), peningkatan penduduk miskin akibat krisis moneter tidak setinggi publikasi pemerintah berbasis metode baru. Selisih penduduk miskin turun menjadi 15 juta jiwa atau 6,5 persen saja antara tahun 1996 dan 1999.

Sebagai perbandingan, penghitungan menurut kategori pendapatan penduduk 40 persen te- rendah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas menandakan akibat krisis moneter lebih tertuju kepada penduduk berpendapatan atas yang jatuh ke kategori pendapatan menengah. Antara tahun 1996 dan 1999 penduduk berpendapatan terendah itu berubah tidak signifikan dari 20,3 persen menjadi 21,7 persen. Namun, penduduk berpendapatan atas menurun signifikan dari 44,6 persen menjadi 37,8 persen.

Tanpa mengingatkan perubahan penghitungan kemiskinan itu, tak urung tindakan BPS menuai kritik. Kata Aris Ananta, kalau otak-atik pengolahan statistika hanya dimanipulasi untuk menguatkan hipotesis teoretis, lantas apa gunanya statistika itu?

Dengan berpikir ala buku teks, bagi BPS garis kemiskinan menjadi instrumen teori kemiskinan absolut. Ini terukur menurut kebutuhan fisik seorang lelaki bekerja sehari sebanyak 2.100 kalori (sampai 1996).

Sekarang diharapkan penghitungan yang konsisten dari BPS jika nanti mengeluarkan statistika kemiskinan 2006. Mungkin sejarah berulang, keluarannya berupa penambahan penduduk miskin namun tak melonjak. Misalkan demikian, apakah berarti posisi pemerintah lebih baik?

Tidak jelas juga! Karena pemerintah belum berhasil menemukan golongan miskin. Pengujian terbaik atas akurasi atau reliabilitas garis kemiskinan BPS ialah kala dilaksanakan sensus desa dan kelurahan untuk menemukan calon penerima dana BLT/SLT (bantuan/sumbangan langsung tunai). Sayang akurasinya rendah, masyarakat menolaknya, dan angka keluarga miskin membubung.

Ternoda neoliberalisme

Selama ini kebijakan penanggulangan kemiskinan ternodai pemikiran neoliberalisme, bahwa individu dan kelompok telah memiliki modalnya sendiri. Penyediaan akses ditengarai hanya termanfaatkan golongan hampir miskin. Kredit program hanya diberikan untuk "penduduk miskin" yang berpengalaman dagang.

Evaluasi penanggulangan kemiskinan struktural perlu membanding antarlapisan masyarakat. Tanpa kesadaran akan masalah kesenjangan tersebut, masih dapatkah kebijakan penanggulangan kemiskinan memberdayakan penduduk miskin, sekaligus menciptakan solidaritas dari golongan berpunya?

Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home