| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 22, 2006,11:00 AM

Mengapa Malu Akui Kegagalan?

Syamsuddin Haris

Kelompok ahli ekonomi yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit mensinyalir bahwa data yang dipergunakan pemerintah dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR "kedaluwarsa". Angka kemiskinan dan pengangguran yang seharusnya meningkat diindikasikan menurun dalam pidato presiden tersebut. Mengapa pemerintah harus menutup-nutupi kondisi riil bangsa kita?

Sinyalemen para ekonom Tim Indonesia Bangkit tentu sangat mengejutkan. Betapa tidak, secara jujur sebenarnya cukup banyak keberhasilan pemerintah selama hampir dua tahun terakhir. Di bidang politik, stabilitas pemerintahan relatif terjaga. Hal ini didukung penyelesaian kasus Aceh sebagai puncak keberhasilan pemerintahan Yudhoyono.

Begitu pula situasi yang relatif kondusif di Maluku dan Poso. Di bidang ekonomi, pencapaian stabilitas ekonomi makro relatif baik dan didukung oleh penguatan kurs rupiah terhadap dollar AS, indeks harga saham yang membaik, nilai ekspor yang terus melejit, dan angka inflasi yang relatif stabil.

Karena itu, tak ada alasan bagi pemerintah, apalagi harus "malu", untuk mengakui beberapa kegagalan dalam sektor-sektor lain. Penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, yang masih tebang pilih, kualitas kesejahteraan rakyat yang belum baik, tingkat pengangguran yang masih tinggi, serta toleransi dan kebersamaan antarsesama anak bangsa yang makin merosot, adalah sejumlah kondisi riil yang tak perlu ditutup-tutupi.

Pidato presiden di DPR semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengakui secara terbuka dan jujur begitu beratnya persoalan bangsa yang harus dihadapi dan karena itu membutuhkan kerja keras dan dukungan seluruh rakyat. Apalagi, negeri kita dirundung bencana alam hampir tanpa henti selama dua tahun terakhir, sehingga wajar saja jika pemerintah belum berhasil memenuhi janjinya. Bangsa-bangsa yang besar justru tumbuh dari kejujuran, keterbukaan, dan ketulusan para pemimpin untuk mengakui kesulitan dan berbagai kegagalan.

Mental ABS

Apabila sinyalemen para ekonom Tim Indonesia Bangkit benar adanya, seperti juga sudah diakui oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, maka para menteri yang bertanggung jawab dalam penyusunan pidato Presiden Yudhoyono dapat dikatakan masih bermental asal bapak senang (ABS). Untuk menyenangkan sang bapak, data kedaluwarsa pun dipergunakan sehingga tampak bahwa seolah-olah pemerintah telah berhasil menurunkan pertumbuhan jumlah penduduk miskin dan sukses mengurangi tingkat pengangguran.

Mentalitas ABS semacam ini tentu patut disesalkan bukan semata-mata karena ia sepenuhnya warisan otentik Orde Baru, melainkan juga karena kecenderungan demikian membohongi diri sendiri dan rakyat sekaligus. Yang dibutuhkan rakyat kita dewasa ini justru adalah kejujuran dan ketulusan pemimpin-pemimpin kita, baik di dalam pemerintahan, parlemen, maupun badan-badan peradilan. Rakyat kita sudah terlalu lelah dengan suguhan janji-janji politik, retorika, serta berbagai gincu pidato dan upacara.

Mengapa kita malu mengakui kegagalan jika secara obyektif kompleksitas masalah bangsa yang harus ditangani pemerintah begitu bertumpuk? Bukankah pengakuan secara jujur atas kegagalan merupakan kredit sekaligus investasi politik bagi pemerintah untuk mempertahankan kepercayaan rakyat?

Kerdil

Bertubi-tubi krisis multi- dimensi dan bergelombang badai bencana datang menerjang bangsa ternyata tak mampu mengubah pola pikir dan tata kelola pemerintahan dengan lebih baik. Para pemimpin bangsa cenderung masih melihat rakyat sekadar sebagai angka-angka nominal belaka.

Di satu pihak pemerintah dan para pemimpin politik hampir selalu ingin menjadi "Ratu Adil" ataupun "Sinterklas", tetapi di pihak lain keterbatasan anggaran negara tidak memungkinkan mereka memenuhi harapan rakyat. Akibatnya, yang muncul adalah berbagai janji politik yang kadang-kadang hampir mustahil untuk dipenuhi karena memang tidak realistis. Hal itulah misalnya yang dialami para korban bencana gempa bumi di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat bagian selatan, serta juga bencana lumpur panas yang menenggelamkan sejumlah desa di Sidoarjo, Jawa Timur.

Ironisnya, di tengah penantian para korban bencana akan aliran bantuan yang dijanjikan, para politisi partai-partai di parlemen justru melihat penderitaan rakyat tersebut sebagai peluang untuk memperoleh bagian dana pascabencana. Sejumlah kepala daerah pun "tergiur" dana serupa sehingga tidak merasa berdosa ketika melakukan mark up jumlah korban dan tingkat kerusakan di wilayah mereka. Rakyat kita yang menderita pun tak lebih dari angka yang bisa ditukar dengan dana pascabencana, entah untuk mengisi pundi-pundi partai menjelang pemilu ataupun mempertebal kantong sendiri.

Inilah barangkali sebagian wajah buruk bangsa kita pada saat peringatan hari proklamasi kemerdekaan dewasa ini. Antusiasme rakyat turut merayakan kemerdekaan bangsa belum diikuti perubahan karakter kepemimpinan. Pola pikir dan pola tindak mereka yang dipercaya dan memperoleh mandat sebagai pemimpin belum banyak berubah.

Karena itu, kita berharap bahwa kesimpangsiuran data kemiskinan dan pengangguran dalam pidato Presiden Yudhoyono di DPR benar-benar sebagai kelalaian teknis belaka. Sebab, jika tidak, betapa kerdilnya bangsa ini karena tak pernah bisa jujur terhadap diri sendiri.

Syamsuddin Haris
Ahli Peneliti Utama Bidang Politik LIPI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home